Jumat, 27 Juni 2014

Bima / Werkudara


 Nama-nama lain :
  • Bratasena
  • Balawa
  • Birawa
  • Dandungwacana
  • Nagata
  • Kusumayuda
  • Kowara
  • Bima
  • Pandusiwi
  • Bayusuta
  • Sena
  • Wijasena
  • Jagal Abilawa
Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.

Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.

Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata. Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.

Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).
Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.
Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.

Kamis, 26 Juni 2014

Puntadewa (Yudistira)


Nama lain Puntadewa :
     * Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
    * Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
    * Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
    * Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
    * Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
    * Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
    * Pandawa, "putera Pandu".
    * Partha, "putera Prita atau Kunti".

Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:


    * Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
    * Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
    * Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
    * Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".


Raden Puntadewa adalah putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.

Secara resmi memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.

Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.

Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.

Sabtu, 21 Juni 2014

Kumpulan Gurit

Telo

Pasar, warung, swalayan, lan liyane
Tak batin , tak sawang-sawang
E . . lha dalah
Bisa di gawe
Gethuk lindri
Lengko, sawut, gathot
Lan liya-liyane
Tak itung nganti 30 aran
Ya asale saka telo
Apa ora hebat. . .
Bener. . Allah iku maha pemurah








Kasur

Awan bengi tak turoni
Ora lali tak resiki
Ambane 10 kilan
Awit biyen nganti saiki
Aku ora lali
 Rasane kepenak
Kanggo wong sing nyenyak
Tumpuk undung samsoyo kepenak
Kanggo ibu lan bapak
Ora liya ya kasur sing kepenak







Munthu

Gedhene sak kepel
Kanggo gawe wong sing prigel
Yen ora ana mesthi cuthel
Bubar nganggo rasane pegel
Sanajan pegel
Nanging yen seneng ora bakal kesel
Bisa nguleg sambel lan pecel



Urip Iki


urip iki ora ana jaminan
kanggo terus bungah
ora ana kapasten
kabeh wong bisa kabuang
kanthi cara kang beda-beda
apa wong ora ngerti apa kui
kepaten
kanthi rasa lara
kang tansah ana bareng pepati
aku mung pengen lunga
kanthi rasa kang ana ing ati iki
kanthi sewiwi sing bakal nulung awak iki



Jempol

Siji. . . wong wadon aja kaya jenthik
Jenthik iku wong kang ora percaya
Barang sithik diuthik-uthik
Loro. . . dadia jenthik manis
Pulatan seneng ora mrengut
Nganggo ali-ali kethok manise
Kaping telu. . . wong wadon kayaa driji panunggul
Yen ngomong ngunggulake sisihane
Ngasorke awake dhewe
Ora tau gawe ati patuh
Kaping papat. . . wong wadon aja kaya jenthik penudhing
Senengake mbedake liyan
Senenge ngelehke
Senenge pinginan
Senenge neka-neka
Dumudhing kanggo kang maha kuasa
Kaping lima. . . wong wadon bisa angerteni
Jenthik, jenthik manis, pinunggul pinudhing
Wong kang bisa nglakoni iku
Ya wong wedok sing Jempol



Ngenes


Rikala aku SD
Diweling diwulang kanthi runtut
Ana tetandur ana pramuka ana unggah ungguh
Apa maneh basa jawa
Nanging saiki kok wis beda
Guruku ora bisa basa jawa
Tansah nganggo basa indonesia
Ana ngomah maneh
Nganggo basa Indonesia
 apa ora kleru?
apa maneh krungu-krungu
Basa daerah ora diajarake
Apa ora ngenes atiku




Ngalamun


Rupane sulistyo
Kulitane kuning langsat
Mripatmu damar kanginan
Rambutmu ngandan-andan
Bangkekmu nawon kemit
Tak sawang. . .
Tak batin. .
Oh walah. . .
Jebul sing tak sawang-sawang
Boneka Barbie



Mili

Alon jangkahku
mlangkah tumuju panggonan apa sing tak karepake
Timik. .timik. .
Alon. . alon
Lirih tanpa swara
Alon tak buka lawang mburi omah
krengkeeeetttt. .keeet keet
lawang kang wis tuwa
saka kayu jati
tak sawang saka kadohan
isih separo
rada lega weruh isih separo
tak cekel wadah beling
tak siling banyu kendhi
makgluk. . .gluk. .
banyu mili lewat krongkongan
nelesi apa-apa sing dilewati
seger. . .
iki sing jenenge nikmat
kerongkongan garing merga ngelak
teles merga ngombe


Isih


wiwit aku isih bayi
wong tuwa sing ngopeni
nganti tumekane saiki
wong tuwa isih gemati

mangkat sekolah disangoni
sandhang pangan wis mesthi
mula aku tetep ngajeni
wong tuwa sing tak tresnani


Embuh

Rasa-rasane ora percaya
Ndeleng kahanan negaraku iki
Sesliweran wong-wong pada dhemo
Nuntut hak asasi. . .
Wira-wiri, ngalor ngidul, ngetan ngulon
Padha njaluk keadilan
Ora cetha njaluk karo sapa
Pamarintah wis bingung kudu ngapa
Mung bisa cekelan sirah
Nanging sirah opo?
Lha wong sirahe wis ilang,
Katut kasus-kasus korupsi!
Yen ngene sapa sing kudu disalahke
Masyarakat apa pamarintah!!
Ahhhhh…. Ora ngerti aku
Aku mung bisa ngomong

Embuh. . . 

SERAT WIRAWIYATA

SINOM


1. Wuryanta dennya manitra, 
Nujwa ari wrahaspati, 
Kaliwan tanggal sapisan, 
Sasi saban wuku wukir, 
Ehe sangkelang warsi, 
Murtyasha amulang sunu (=1788) 
Sung pariwara darma, 
Jeng Gusti Pangeran Dipati, 
Harya Mangkunagara ingkang kaping pat.

  

2. Heh sagung pra siswaningwang, 
Kang samya dadi prajurit, 
Aja wiyang ig wardaya, 
Rehing wus sira lakoni, 
Balik dipun nastiti, 
Marang ing kawajibanmu, 
Owelen sariranta, 
Reksanen luhurmu sami, 
Yen kuciwa weh alun alaning raga.



 3. Awit sira wus prasetya, 
Nalika jinunjung linggih, 
Saguh nut angering praja, 
Myang pakoning narapati, 
Sineksen den estreni, 
Mring para wira sawegung, 
Upama sira cidra, 
Nyimakke ajining dhiri, 
Temah nistha weh wiranging yayah rena.
  


4. Ywa sira duwe pangira, 
Lamun wong dadi prajurit, 
Karyane abot priyangga, 
Wruhanta sagung pakerti, 
Kabeh donya puniki, 
Tan ana prabedanipun, 
Kang dagang neh lautan, 
Miwah ingkang among tani,
 Suwana kang suwita ing narendra.

  

5. Myang kang tapa jroning guwa,
 Kang manusup ing asepi,
 Lakone padha kewala,
 Awit iku dadi margi,
 Mrih katekaning kapti,
 Sapangkate pandumipun,
 Nanging saranira,
 Mantep temen lan taberi,
 Samektane ingaranan laksipaja.



6. Lawan sira sumurupa,
 Kang kalebu pangabekti,
 Nora sembahyang kewala,
 Kang dadi parenging Widdhi,
 Sakeh panggawe becik,
 Kang manteb suci ing kalbu,
 Uga panembah,
 Yen katrima iku sami,
 Sinung rahmat samurwate badanira.
  


7. Lamun tan mawa sarana,
 Paran katekaning kapti,
Lir mbedhag tanpa wisaya,
Sayektinira Hyang Widdhi,
Tan karsa mitulungi,
Marang wong kang datan laku,
Nir ngamal myang panembah,
Kumudu dipun turuti,
Ngendi ana Gusti wineh ing kawula.



8. Kang mangkono andupara
Lamun jinurung ing kapti,
Malah nandhang duka cipta,
Kasiku angreh Hyang Widdhi,
Marmanta sira sami,
Aja kasusu panggayuh,
Manawa during ngrasa,
Duwe ngamal kang nlabeti,
Becik sira angona lakuning praja.



9. Dene sira iku bagya,
Antuk kawiryawan mangkin,
Yektine katut prabawa,
Saking leluhmu sami,
Nguni wus patang sakit,
Dadya ing kapenakipun,
Tumiba marang sira,
Murwa sukur ing Hyang Widdhi,
Tarimanen berkahing wong tuwanira.




10. Jer janma kang wus minulya,
 Lis wadhahe lenga wangi
 Utamane winantonan,
Gandane saya menuhi,
Nadyan ngisengan warih,
Lebating we maksih arum,
Kang mangka sudarsana,
Jeng Gusti Pangeran Dipati,
Harya Mangku Nagara ingkang kapisan.



11. Duk babade murweng yuda,
Neng alas limalas warsi,
Sewu lara sewu papa,
Ngupaya mulyaning dhiri,
Antuk pitulung Widdhi,
Katutungan karsanipun,
Mukti sawedyanira,
Tumerah dalah samangkih,
Buyut canggah kasrambah milu wibawa,



12. Iku ta kayektinira,
Pralambang lenga wanngi,
Upamane duk samana,
Tan antuk pitulung Widdhi,
Praptane jaman iki,
Tan ana caritanipun,
Marma den enget sira,
Aja ngaku angekoki,
Mung ngrasaa lamun anempil wibawa.



13. Mangkana gya winantonan,
 Marang kang jumeneng malih,
 Jeng Gusti Pangeran Dipatya,
 Mangkunagara ping kalih,
 Pinet sraya mring Inggris,
 Amukul nagari Matarum,
 Sabesahe kang praja,
 Ginanjar sewu kang bumi,
 Dadi tetap lenggah limang ewu karya.



 14. Rambah malih sinarya,
 Marang Gubermen Walandi,
 Mukul prang Diponegara,
 Sarampunge ing ajurit,
 Ginanjar bumi malih,
 Sukowati limang atus,
 Lan blanja saben wulan,
 Mangka ingoning prajurit,
Patang ewu patang atus wolung dasa.


15. Prapta panjenenganira,
Jeng Gsti Pangeran Dipati,
Mangkunegaraa ping tiga,
Ing drajat pinrih lestari,
Mangun harjaning budi,
Mring Gupermen tyas sumungku,
Ginanjar kang bandera,
Lan mariyem kalih rakit,
Iku mangka tandhaning sih pinarcaya.



16. Kepriye yen sira ngras,
 Antuk kalawan pribadi,
 Dadi mungkir jenengira,
 Kaciren lair myang batin,
 Ginaguyweng sasami,
 Lupute gonira ngaku,
 Langguk piyangkuh nira,
 Kasiku marang Hyang Widdhi,
 Dadi tuna duwe turun kang mangkana.



17. Lamun yekti saking sira,
pribadi tandhane endi,
 apa wus munjuli sira,
 marang samaning dumadi,
 saking ing krama niti,
 lawan apa wus misuwur,
 ing guna prawiranta,
 kang kanggo marang nagari,
 baya durung lir lakone luhure.
  


18. Pira bara sira bisa,
ngupure darajat malih,
 dadi janget kinatigan,
 dadi santo seng wuri,
 tumurun marang siwi,
sokur bisa prapteng putu,
 milu tampa kawiryan,
 yogyane angkahen kaki,
 ra orane aja punggel saking sira.
  


19. Lamun drajat kalakona,
 punggele saking sireki,
 dadi sira nganiaya,
 marang darahmu pribadi,
tan kendel ingkang wuri,
 dhapur kapotangan laku,
 salagi tembe bisa,
 antuk kang darajat malih,
 sasambungan yekti becik kang widada.
  


20. Upama nora punggele,
 jer nora ngupaya malih,
 yen wus punggel nadyan sira,
 semedi ing saben ratri,
 antuke durung mesthi, tiwas
angengecer laku,
marma den enget sira,
 sajrone lumakyeng kardi,
pangreksamu ing drajat aywa pepeka.



 21. Dene jejring wandanta,
 ing mangko dadi prajurit,
 maju baris lawan jaga,
 teori lesan sepeksi,
 iku dudu pakarti,
 ajar-ajar jenengipun,
 wus dadi wajibira,
 prajurit dipun geladhi,
papadhane santri ingajar sembahyang.

  
  
22. Sinung ukum sawatara,
 yen nglirwakken marang wajib,
 iku wus lakune praja,
 jejege kalawan adil,
 sanadyan liyan janmi,
  duk neng yayah renanipun,
 yen luput rinengonan,
 utawa den jemalani,
 dadi iku wineruhken tata krama.